Tak dimungkiri jika teknologi di Indonesia sudah berkembang pesat.
Tapi sadarkah kita, di belahan bumi bagian barat pulau Sumatera, ada banyak jiwa yang butuh perhatian kita?
Mereka adalah salah satu suku tertua di dunia. Suku Mentawai yang sudah hidup sejak 500 SM, yang hingga saat ini masih memegang teguh dengan penuh kepercayaan bahwa hutan adalah pusat kehidupan yang tak ternilai. |
Yang mana suku Mentawai yang masih lekat hubungannya dengan hutan, kebanyakan tinggal di kepulauan besar Mentawai di Sumatera Barat, yakni Pulau Siberut, Sipora dan Pagai.
Bagi mereka, hutan sebagai paru-paru dunia.
Hutan juga diibaratkan ibu kandung mereka.Seorang ibu yang akan selalu menjaga anak-anaknya, memberi makan dan memeluk ketika ada marabahaya.
Jika hutan tidak dijaga oleh mereka, lantas apa yang akan jadi tumpuan hidup mereka?
Hutan adalah Pusat Kehidupan yang tak ternilai
Di dusun Buttui, Desa Madobag, Kecamatan Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, terlihat dua Sikerei dengan penuh kasih dan wajah yang sumringah sedang memberdayakan tumbuhan menjadi sesuatu yang tak ternilai.
Kompas.com |
Mereka adalah Aman Lepon yang menghaluskan tumbuhan satu per satu menggunakan parutan, sementara ayahnya, Aman Laulau dengan penuh perhatian membersihkan tumbuhan yang belum diparut.
Di tepi
anak Sungai Buttui yang mengalir jernih, hanya beberapa meter dari uma (rumah
tradisional Mentawai), dua sikerei tersebut meramu ramuan obat sakit
perut.
Sebagai ahli pengobatan tradisional dalam masyarakat Mentawai, sikerei bukan hanya bertugas sebagai penyembuh, tetapi juga pemimpin dalam berbagai ritual adat.
Mereka memiliki peran penting dalam pembangunan rumah, pembuatan sampan, pembukaan
ladang, merayakan kelahiran, dan bahkan mengatur prosesi pemakaman.
Ciri khas yang bisa dikenali dari sosok Sikerei adalah sehari-hari mereka akan mengenakan Kabit (cawat), berkalung manik, berambut panjang, dan pengikat kepala kain merah.
Tangan, badan, hingga kakinya, dipenuhi titi, tato tradisional Mentawai. Saat bertugas, aksesorinya lebih banyak dengan tambahan luat (ikat kepala), tuddak (sejenis kalung), dan lainnya.
Sementara di kawasan lain, di desa Saibi Samukop, kecamatan Siberut Tengah, kepulauan Mentawai dengan jumlah penduduk 3.434 jiwa.
Rumahnya khas, tersusun rapi, sementara halamannya yang selalu terbentang tikar-tikar yang terbuat dari bahan pandan, yang dijadikan sebagai alas untuk menjemur Cengkih.
Sama halnya dengan suku Mentawai di dusun Buttui yang menjadikan Hutan sebagai apotek hidup.
Penduduk di sini juga sama. Mereka mengumpulkan beragam jenis tanaman, seperti ailelepet simabulau, ailelepet simaingo, bekeu simabulau atau bunga sepatu warna putih, baku simaingo sebagai obat.
Berbagai jenis tanaman tersebut disusun layaknya bunga yang mekar. Kemudian pangkal-pangkalnya dimasukkan ke bambu, lalu diisi air.
Setelahnya, diminta untuk minum atau disiramkan sebagai obat penyakit. Selain itu, mereka juga menanami beberapa jenis tumbuhan yang bisa dijadikan sumber makanan, seperti pisang, sagu, kelapa, pinang dan banyak lagi.
Hutan sebagai sumber kehidupan. Segala jenis makanan, obat, sampai dengan teknologi, semuanya ada di hutan. Inilah yang membuat suku Mentawai bertahan hidup sejak zaman dahulu.
Di desa Goiso’oinan, Kecamatan Sipora Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Pria berusia 64 tahun mengumpulkan sejumlah kuncup bunga Gandasuli, lengkap dengan tangkainya untuk dijadikan obat.
Setelah dibersihkan, bunga tersebut akan dicampur dengan kencur, lalu dihaluskan menggunakan gigiok, benda khas Mentawai yang terbuat dari pelepah Enau.
Fakta Tragis, Hutan di Mentawai Terancam
Beberapa tahun, mungkin suku Mentawai bisa hidup tenang.
Namun setelah pasca pandemi, tersiar kabar bahwa akan masuk perusahaan kayu di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat.
Mengutip dari situs harianhaluan.id, pasalnya tahun 2022, tepatnya di kecamatan Siberut Barat Daya akan ada penebangan hutan yang tentunya akan mengancam kehidupan satwa liar di sana.
Bilou, simakobu, bokkoi dan joja adalah satwa-satwa liar yang termasuk primata arboreal, yang mana sebagian hidupnya dihabiskan di atas pepohonan.
Sumber gambar: mentawaikita.com |
Tak hanya itu saja, akibat penebangan kayu di hutan juga telah merusak 52.000 Ha atau sekitar 15 persen hutan di Siberut.
Jauh di Pulau Siberut, seorang Sikerei menyatakan kegelisahan yang sama. Munculnya eksploitasi hutan telah memberikan dampak hilangnya tanaman obat tradisional Mentawai.
Begitu juga di Pulau Sipora, Pulau Pagai Selatan dan Utara mengalami nasib yang sama.
Di pulau-pulau tersebut, juga melakukan beberapa aksi penebangan hutan yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat.
Hutan Punah, Perubahan Iklim Mengancam Pelestarian Hutan
Terdapat hubungan yang erat antara hutan punah dan perubahan iklim di Kepulauan Mentawai.
Kepulauan Mentawai terletak di lepas pantai barat Sumatra, Indonesia, dan memiliki hutan hujan tropis yang luas dan kaya biodiversitas.
Botanic Gardens Conservation International [BGCI] dalam laporannya awal September 2021 berjudul State of the World’s Trees [2021] menjelaskan bahwa dalam lima tahun terakhir, sekitar 17.500 dari 60.000 spesies pohon di dunia terancam punah.
Kehilangan hutan di Mentawai dapat menyebabkan perubahan iklim yang signifikan.
Hutan hujan tropis berperan penting dalam siklus karbon, menyerap karbon dioksida (CO2) dari atmosfer dan menyimpannya dalam biomasa tumbuhan.
Ketika hutan dihancurkan atau ditebang, karbon yang terkandung dalam pohon-pohon tersebut dilepaskan kembali ke atmosfer sebagai CO2, berkontribusi pada peningkatan efek rumah kaca dan perubahan iklim.
Selain itu, hutan Mentawai juga memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan iklim mikro di wilayah tersebut.
Hutan hujan membantu memodulasi suhu, mengurangi erosi tanah, dan menjaga siklus air.
Ketika hutan ditebang, tanah yang terbuka menjadi lebih rentan terhadap erosi dan banjir, sementara suhu lokal dapat meningkat akibat hilangnya penutup tanah dan vegetasi yang menyerap sinar matahari.
Perubahan iklim juga dapat berdampak negatif terhadap hutan Mentawai, di antaranya peningkatan suhu, perubahan pola curah hujan, dan perubahan musim dapat mempengaruhi keanekaragaman hayati dan ekosistem di pulau-pulau ini.
Beberapa spesies tumbuhan dan hewan mungkin tidak dapat bertahan atau beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan kondisi iklim yang ekstrem.
Perubahan iklim juga berdampak langsung pada masyarakat Mentawai yang secara tradisional bergantung pada hutan untuk bertahan hidup.
Mereka mengandalkan hutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti makanan, obat-obatan, dan material bangunan.
Ketidakstabilan iklim, termasuk kebakaran hutan dan kekurangan sumber daya alam, mengancam keberlanjutan gaya hidup mereka dan meningkatkan risiko kemiskinan.
Oleh karena itu, penting untuk melindungi hutan Mentawai sebagai bagian dari upaya mitigasi perubahan iklim.
Inilah Cara Menjaga Hutan Bersama Masyarakat Adat
Menjaga hutan bersama masyarakat adat Suku Mentawai adalah suatu upaya yang penting dalam melestarikan lingkungan alam dan keanekaragaman hayati.
Untuk itu, berikut adalah langkah-langkah yang dapat dilakukan sebagai upaya untuk bergerak dan berdaya menjaga hutan bersama masyarakat adat Suku Mentawai.
Melestarikan Pengetahuan Lokal
Masyarakat adat Suku Mentawai memiliki pengetahuan yang kaya mengenai hutan dan ekosistemnya.
Oleh karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan untuk menjaga hutan adalah menghormati dan mengakui pengetahuan lokal dari suku Mentawai.
Masyarakat adat dapat berbagi pengetahuan mereka tentang penggunaan tanaman obat, teknik berkebun yang berkelanjutan, dan sistem tradisional yang sudah mereka terapkan untuk menjaga keseimbangan ekosistem.
Dari pengetahuan tradisional mereka tentang pengelolaan hutan dan keanekaragaman hayati tersebut pula, dapat diintegrasikan dengan pengetahuan ilmiah modern untuk memperkaya pendekatan konservasi dan pengelolaan hutan.
Penguatan Partisipasi Masyarakat
Aturan Pemanfaatan Sumber Daya Alam
Pendidikan dan Kesadaran Lingkungan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan
Kerjasama dengan Pihak Eksternal
#BersamaBergerakBerdaya, Memeluk Masa Depan Bumi Mentawai
Sumber gambar pribadi (Pemandangan terdekat pantai Sipora di Mentawai yang keindahannya mirip Maldives. Jika seindah ini, sayang sekali jika dirusak karena kurangnya pemahaman akan menjaga alam) |
Be First to Post Comment !
Posting Komentar