Rangkaian Parade Happy Inner Child belum berakhir di sesi 3, tetapi ada kelanjutannya.
Pada sesi lanjutan atau yang ke-4 ini pembicara mengajak peserta untuk memahami dan menilai apakah sudah merasakan bahagia.
Hem….mendengar pembukanya saja, terasa betapa menarik materi ini.
Memang benar sekali pemaparan pemateri sebelumnya, inner child tidak akan hilang dengan sendirinya.
Obat, dokter dan psikiater pun tidak akan bisa menyembuhkan. Kesembuhan total 100% tergantung dari diri sendiri. Seberapa usaha untuk mendapatkan kembali kebahagiaannya.
Pada sesi 4 ini pemateri pertama, yaitu ibu Aftalia Kusumawardhani mengajak peserta untuk melakukan tes kecerdasan emosi.
Meski namanya tes kecerdasan berbeda dengan psikotes yang harus mengerjakan soal logika, deret ukur maupun baris. Kali ini tes dilakukan cukup dengan melihat diri sendiri.
Ternyata bagi peserta dampaknya luar biasa. Dengan memahami status dan posisinya berdasar hasil tes, paham apa yang perlu dilakukan.
Kembali lagi, hakikatnya inner child bisa hilang dengan usaha keras diri sendiri.
Aftalia Kusumawardhani: 4 tes kecerdasan emosional
Pemateri kali ini terlihat sangat tegas namun juga kuat dan lembut, berada dalam satu pribadi.
Wah…sepertinya kehidupannya selalu adem dan bahagia. Begitu beliau mengajak peserta untuk menilai diri sendiri, aku pun langsung berpikir.
"Apakah selama ini aku sudah merasakan kebahagiaan yang abadi. Jika belum, apa penyebabnya?"
Nah…ternyata menilai diri sendiri tidak mudah ya. Kita harus sangat jujur agar treatment yang dilakukan pas.
Jika berpura-pura, maka inner child yang masih tertinggal, tidak akan bisa keluar dan dihilangkan. Bu Aftalia mengajak peserta untuk melakukan tes kecerdasan emosional dengan 4 poin.
1. Memaafkan Seperti Memegang Selembar Kertas
Lembaran kertas terlihat sangat rapi dan halus. Namun jika kita sudah meremasnya, benda ini tidak akan kembali seperti semula.
Meski disetrika pun bekasnya tetap ada. Pemiliknya akan merasakan kecewa karena bentuknya sekarang tidak beraturan lagi.
Bagaimana mengatasi kekecewaan tersebut?
Cara yang pertama adalah menerima keadaan bahwa kertas yang tadi halus sekarang memang sudah tidak sama.
Jika fokus pada lekukan atau bekasnya, selamanya tidak akan menemukan titik temu. Sebabnya adalah memang benda tersebut tidak akan kembali seperti semula.
Terkait dengan memaafkan diri sendiri pun seperti itu. Kita harus bisa menerima hal yang menyakitkan tersebut terlebih dulu, baru kemudian memaafkan.
Sebaliknya, jika kita belum bisa menerima keadaan, maka maaf hanya ada di mulut saja. Tidak ada gunanya.
2. Memutus Hubungan Penyebab Trauma
Inner child bisa muncul karena luka pengasuhan yang kita terima di waktu kecil. Orang tua yang kasar, suka marah dan membentak, bullying dari teman atau perasaan tidak diharapkan kelahirannya.
Persoalan ini akan terus menghantui sampai dapat memutuskan hubungan. Terus mengingatnya, mengutuk pelakunya, membenci dan menyesali kenapa hal itu menimpa.
Tindakan tersebut justru akan mengikat penyebab tersebut pada diri kita. Kita akan semakin sulit untuk melupakan.
Orang tua yang berlaku kasar dengan marah atau bahkan memukul, bisa jadi itu merupakan ungkapan rasa sayang.
Karena pernah mendapatkan didikan yang sama, maka merasa tindakan tersebut benar sehingga melakukannya pada anaknya, yaitu kita.
Jika terus mengingatnya, maka bonding trauma akan semakin kuat. Cara untuk bisa lepas adalah dengan memutus ikatan tersebut.
Tindakan yang nyata ya dengan cara melupakan dan mengikhlaskan kejadian tersebut.
3. Memaafkan Sampai Seluruh Tubuh
Bagian ini yang menurutku sangat sulit. Kenapa? Mengucapkan kata maaf untuk seseorang dan diri sendiri memang mudah.
Tetapi ketika bertemu dengan pemicunya apakah tidak akan memercik keinginan untuk meluapkan emosi kembali?
Sebagai contoh, pada waktu kecil kita sering mendapat perlakuan kasar dari orang terdekat. Dibentak dan diomelin misalnya. Kita sudah mengucapkan, “Yes, aku memaafkan apa yang sudah kualami, termasuk pelakunya dan aku sudah mengikhlaskannya”.
Namun ketika anak kita melakukan kesalahan, apakah kita tidak akan terpicu untuk mengomelinya?
Masalah inner child satu ini tidak mudah untuk mengatasi. Mulut bisa mengucapkan dan memutus bonding terhadap penyebab trauma, tetapi apakah hati tidak akan terpancing emosi?
Hal ini yang sulit untuk didapatkan. Sedangkan jika ingin sembuh dari luka pengasuhan, kita harus dapat melakukannya.
4. Menertawakan Kekonyolan yang Pernah Dilakukan
Dalam menjalani hidup, kita pasti pernah melakukan kesalahan atau tindakan konyol, memalukan dan hal yang tidak semestinya.
Untuk dapat menilai kecerdasan emosional, kita perlu bertanya, apakah pada saat mengingatnya, masih muncul rasa menyalahkan diri sendiri?
Jika masih muncul rasa menyesal, malu, mengutuk diri sendiri maka kita belum lulus.
Seharusnya kita bisa memunculkan jiwa humoris yang ada pada setiap orang. Menganggap hal konyol tersebut merupakan humor yang lucu dan tidak perlu disesali.
Anthony Dio Martin: masa kecil mu merah atau biru?
Pak Anthony mengajak peserta untuk menilai, masa kecilnya apakah berada pada zona merah atau biru. Merah artinya banyak trauma yang bisa menyisakan inner child, sedangkan biru artinya super comfort.
Ternyata, berada di zona merah atau biru sama-sama bukan posisi ideal. Jika merah sebagaimana kita ketahui, banyak masalah psikis yang mungkin terus ikut sampai dewasa.
Hal tersebut menyebabkan seseorang menjadi pemarah, kurang percaya diri dan sebagainya.
Lantas bagaimana jika biru? Biru akan menyebabkan seorang cowok mengalami peterpan syndrome, yaitu sikap yang tidak pernah bisa dewasa.
Selalu bersikap kekanak-kanakan, ingin dilayani dalam segala hal dan mendapat perlakuan istimewa.
Sedangkan pada cewek bisa mengalami cinderella complex, yaitu ingin selalu dipuji, disanjung dan diperlakukan seperti ratu. Akibatnya tidak akan pernah mandiri dan dewasa, keduanya tentu kurang baik.
Posisi yang ideal adalah tengah-tengah. pada posisi ini seseorang akan bisa dewasa seperti seharusnya. Bertanggung jawab dan menjalankan perannya dengan sempurna. Baik yang berada pada zona biru atau merah harus berusaha ke zona ideal tersebut.
Nah, dengan memahami hal-hal tersebut, untuk bisa menjalani hidup secara baik, kita harus lulus tes kecerdasan emosional dan membawa diri pada zona ideal.
Mudah? tentu tidak, tetapi lebih sulit jika kita berada di posisi sekarang dan tidak mau bergeser ke zona yang paling pas dengan melepaskan inner child.
Be First to Post Comment !
Posting Komentar