Lagi-lagi
penolakan itu hadir kembali. Entah sudah berapa kali orang yang pernah mengaku
sebagai sahabat, tiba-tiba mematahkan kepercayaanku, mengkhianatiku, dan bahkan
sudah tak mau mengenaliku kembali.
"Cerita ya kalau ada apa-apa. Jangan segan atau malu.”
Perkataan tersebut mengakar dalam pikiranku sejak pertemanan itu terjalin. Makanya, aku sangat ingat dan menyimpannya rapat seolah apa yang mereka ucapkan itu memang benar. Merekalah orang-orang yang akan selalu ada ketika aku membutuhkan pundak untuk bersandar. Merekalah orang-orang yang akan memelukku ketika aku merasa sendirian, dan mereka juga yang akan rela mengusap airmataku saat aku merasa terjatuh di sebuah jurang terdalam.
“Aku akan ada buatmu. Kapanpun kamu butuh.”
Itu adalah perkataan terbodoh yang lagi-lagi aku merekamnya dalam pikiran sekaligus mempercayainya. Padahal setelahnya, mereka akan sibuk dengan hidupnya masing-masing.
Baca Juga:
Yang tadinya teman dekat, kemudian mereka tak lagi menyimpan nomor pribadiku. Tak ada lagi lagi sapaan “Selamat pagi, semangat untuk hari ini, ya.” Tak ada lagi yang ngajakin aku buat berdiskusi. Tak ada lagi yang memanggilku dengan panggilan sayang seperti biasanya.
Ya, pada akhirnya, mereka yang dekat ternyata tidak menganggapku bukan siapa-siapa. Mungkin saja dari dulu, ada atau tidak ada diriku di lingkaran mereka, tidak ada artinya apa-apa.
Akupun mulai mencari tahu, salah apakah diriku? Hingga mereka enggan lagi mendengarkanku? Akupun mulai merenung dan mulai insecure dengan diriku sendiri “Aku salah. Aku harus mintamaaf.”
Namun, semakin aku menyalahkan diriku sendiri, aku
semakin sakit. Aku mulai kebingungan ke mana harus melangkah? Mungkinkah aku
salah tempat selama ini? Apakah memang bukan mereka yang bisa mengerti diriku?
“Aku
salah apa? Tolong kasih tahu agar aku tahu dan memahami kalian.”
Tak ada
sahutan sedikitpun. Sementara semakin hari, berkomunikasi rasanya hambar. Enak nggak
sih begini? Jelas tidak.
Aku
merasa tidak baik-baik saja. Aku merasa terpuruk. Lagi-lagi, apakah aku
ditolak? Ide-ide dan kerja kerasku bersama mereka bak debu tertiup angin.
Berteman denganku mungkin dianggap sebuah kesialan. Harusnya mereka nggak usah
berteman denganku. Atau menjanjikan sesuatu padaku hingga aku meganggapnya
sebuah harapan di masa depan.
Aku
malu. Sungguh, keberadaanku seperti hantu. Aku merasa menjadi orang yang tidak
berharga karena telah melakukan kesalahan fatal, menurut mereka. Ingin rasanya
protes, tetapi mulutku seolah diganjal oleh bola meriam. Hingga akupun memilih
pergi tanpa berkata apapun. Tersenyum getir sembari mengoreksi diri.
Baca Juga:
Penolakan
demi penolakan akhirnya membuat diriku berani dengan tegar berdiri di depan
cermin. Menanyakan padanya, “Adakah sesuatu yang menjijikkan dalam diriku? Sampai-sampai
mereka melihatku saja tak sudi. Permintaan maaf sudah tak berarti.”Berulang kali
aku menanyakan hal yang sama. Tanpa bosan, tanpa merasa paling benar.
Aku
duduk sejenak di ruangan gelap. Sembari memejamkan mata dan mulai berpikir
dengan jernih. “Ternyata, ditolak itu tidaklah sakit. Yang paling sakit ketika
mereka menerimaku dengan penuh keterpaksaan. “
Buliran
bening menetes tanpa henti. Harusnya aku menyadari jika tak semua orang bisa
menerimaku. Menerima keburukanku dan kelemahanku. Bukankah hak mereka untuk
suka dan tidak suka padaku? Sekalipun sesekali mereka pernah mengajakku
berdiskusi. Bilang aku sangat berarti.
Aku
menatap cermin kembali. Di sana kulihat bayangan seseorang di mana mata
bulatnya menyalakan api.
“Kamu
salah. Kamu sudah mengabaikan tanggungjawab dari mereka. Kamu berjalan semaumu
saja.”
Aku
terenyak. Setelah kuamati dengan seksama, bayangan itu mirip sekali denganku. Dia
marah dengan diriku. Melontarkan kalimat pedas yang seketika membuat hatiku
patah berkeping-keping.
Sementara
aku tidak sadar selama ini justru aku telah menyakiti bayanganku. Aku terlalu
memaksakan diri agar orang lain selalu menyukaiku, selalu merindukan
kehadiranku. Padahal tidaklah benar.
Kenapa
aku telat sadar?
Faktanya, aku tidak mencintai diriku sendiri.
Demi membuat orang lain senang, aku telah menyiksa diriku sendiri. Tangisku
semakin pecah. Aku semakin bersalah pada bayanganku di cermin. Hingga mau tak
mau akupun harus memeluknya. Mendekapnya erat.
“Tak
apa jika seluruh dunia menolakmu. Yang penting kamu bisa menerima kekuranganmu.
Tak mengapa seluruh dunia tidak menerimamu. Yang penting kamu tidak mengabaikan kesempatan untuk
belajar menerima dirimu sendiri."
Wahai
diri, berdamailah. Jangan takut ditolak. Takutlah jika kamu terlalu berharap
pada seseorang yang memberikan harapan, padahal bisa saja dia tidak menginginkanmu.
Wahai
diri, berdamailah. Jangan takut ditolak. Takutlah pada Allah yang sangat
mencemburui hati yang berharap pada selain Dia. Kamu tak perlu mendapat
pengakuan dari mereka. Cukup pengakuan dari Allah saja.
Be First to Post Comment !
Posting Komentar