Ngomongin tentang media sosial akan selalu menarik, ya? Sebab media sosial adalah salah satu hiburan buat emak-emak macam saya. hahaha
Biasanya sebelum puasa, saya suka mencari hiburan dengan cara aktif di media sosial, terutama facebook. Selain ada kerjaan dari klien untuk nge-buzzer sebuah produk, di facebook seringnya saya menulis curhatan yang dibumbui dengan storytelling namun terselip hikmah.
Kadang juga iseng bikin quote receh dan posting status murah meriah banget tapi entah kok justru mengundang banyak komentar dan like dari teman-teman media sosial. Hihi
Kadang juga iseng bikin quote receh dan posting status murah meriah banget tapi entah kok justru mengundang banyak komentar dan like dari teman-teman media sosial. Hihi
Diam-diam saya juga hobi mencari hiburan dengan membuka akun para motivator di instagram, lho, siapa tahu dari sana ada sebuah pembelajaran. Seringnya sih dapat hikmah, alhamdulilah. Hehehe
Tapi anehnya, setelah stalking akun motivator, entah kenapa akun para gosip-gosip itu juga begitu menggoda. Hati saya nggak kuat iman untuk tidak mengikuti mereka. Meski cuma bisa tertawa sendiri di rumah macam orang gila bermain HP, rasanya tuh udah bahagia banget. Penat karena aktivitas dunia nyata yang cukup melelahkan hilang seketika. Padahal hiburannya receh, kan?
Tapi jangan ditanya setrikaan dan cucian baju sudah selesai atau belum ya. Soalnya media sosial tuh bikin candu banget. apalagi kalau sudah stalking sana-sini, duh, hampir dua jam-an melototin HP pun nggak bakalan terasa. Yang ini parah banget! Dilarang ditiru, lho, ya. hihii
Hiburan saya receh, tapi bahagianya nggak ketulungan, lho, Mom.
Namun, beberapa bulan ini entah kenapa saya agak malas untuk menyentuh media sosial lagi. Dalam sehari bisa dihitung saya update status di FB dan IG, bahkan bisa dibilang tidak sama sekali kecuali ada kerjaan. Seolah-olah media sosial itu bukan lagi sesuatu yang bikin candu buat saya.
Apalagi masa-masa menjelang pemilu satu bulan yang lalu, wuah, saya hampir menutup akun facebook pribadi gegara media sosial semakin panas. Di mana-mana saling sindir-menyindir, nyinyir, dan apalah itu. Makanya saya memilih mengasingkan diri dengan tidak membuka media sosial dan mengalihkannya dengan membaca buku di daring Perpusnas.
Ngomongin soal nyinyir atau julid di media sosial sih sebenarnya bebas. Siapa saja bebas mengutarakan perasaan dan pendapat masing-masing. Hanya saja kalau terus-terusan kan bikin energi negatif muncul.
Tanpa sadar emosi ikut bergejolak, jari ini pun tak kuasa untuk ikutan berkomentar. Meski faktanya saya mati-matian berusaha menahan jari agar tidak kesleo berbicara yang kurang pantas. Tapi tetap saja, bagi saya tidak ada faedahnya memperdebatkan sesuatu yang kenyataannya kita belum tahu dengan pasti. Jadi, solusi terbaik adalah menjauh. Cari aman kerennya. Eh, nggak tahunya keterusan di zona aman. Hihihi
Alhasil, bulan Ramadan ini mentargetkan diri update status berhubungan dengan blog saja.
Kebetulan saya juga ikut #Challengemenulis bersama Indscript ini. Setidaknya postingan saya bisa memberi manfaat. Mengingat bulan ini juga merupakan bulan ramadan penuh berkah dan hikmah, rasanya tidak pantas juga memberi tulisan yang memunculkan aura negatif, bukan?
Kebetulan saya juga ikut #Challengemenulis bersama Indscript ini. Setidaknya postingan saya bisa memberi manfaat. Mengingat bulan ini juga merupakan bulan ramadan penuh berkah dan hikmah, rasanya tidak pantas juga memberi tulisan yang memunculkan aura negatif, bukan?
Jadi, agar puasa lancar, tidak ada salahnya kita saling menahan diri selama 30 hari ke depan dengan melakukan gerakan puasa media sosial.
Puasa media sosial? Apaan tuh?
Apakah kita harus nonaktif semua media sosial selama sebulan? Nggak posting curhatan di FB? Nggak nulis cuitan di twitter? Nggak ngegosip di Instagram?
Tenang. Bukan itu kok maksud saya mengajak teman-teman semua untuk puasa media sosial. Tetapi lebih pada menahan jari agar kita sedikit menyaring tulisan mana yang pantas untuk dipublish dan tidak di media sosial selama Ramadan.
Karena sejatinya, pembaca zaman sekarang cerdas. Sedikit saja ada kesalahan dalam menulis sesuatu, sering kali akan mendulang beberapa komentar, baik komentar negatif maupun positif. Meskipun di awal, tak ada niat buruk sekalipun.
Kesimpulannya, saya hanya ingin mengajak gerakan puasa media sosial yang bertujuan agar kita lebih ektrem lagi dalam menjaga hati selama 30 hari di bulan Ramadan. Kita lebih banyak fokus pada kebaikan, bukan sebaliknya.
Lantas, bagaimana caranya puasa media sosial untuk menahan diri ketika Ramadan ini?
Adakah tip atau trik jitu yang mampu mengerem jari kita supaya tidak keseleo lagi?
Ada banyak cara kok. Bahkan sangat mudah dipraktikkan. Mau tahu? Kurang lebih begini pengalaman saya saat di zona nyaman beberapa bulan lalu.
1. Klik tombol rem pada Jempolmu dari Godaan Nyinyir
Jika kita diminta untuk menahan ucapan, tak jarang beberapa orang akan menasihati dengan istilah "Mulutmu adalah Harimaumu." Begitu juga dengan media sosial yang isinya beragam orang. Sebuah ranah publik yang bisa dilihat siapa saja, dibaca siapa saja, dan ditanggapi siapa saja.
Untuk itu, agar terhindar dari godaan "Jempolmu adalah harimaumu" sebaiknya sebelum mengunggah tulisan di laman media sosial, kita teliti terlebih dahulu. Apakah tulisan tersebut layak untuk dinikmati banyak orang? Apakah bisa memberi manfaat? Atau justru mengundang komentar julid unfaedah?
Nah, penting sekali memikirkan hal tersebut. Itulah kenapa kita harus memiliki tombol REM pada jempol kita. Sebagaimana fungsi dari rem itu sendiri, yaitu berarti menghentikan, menahan, dan memperlambat sesuatu.
2. Hindari Perasaan Baper Saat Bercengkrama di Media Sosial
Wajar sekali jika manusia itu baper. Sebab Allah menciptakan hati adalah agar kita terlatih untuk peka dengan sesama. Tapi, memiliki perasaan berlebihan tentang sesuatu apalagi di media sosial, itu juga tidak baik.
Demi terjaganya hati tetap bersih, menahan diri ketika Ramadan dengan tidak selalu mengandalkan hati dalam menanggapi postingan status teman di media sosial juga sangatlah penting.
Media sosial adalah sebuah ruang publik. Jelas saja kita akan menemui bermacam-macam orang. Mulai yang kalem, cuek bebek, suka nyinyir, motivator dan lain-lain. Jika zona friendlist kita banyak yang suka nyinyir, kita nggak boleh gampang baper. Parahnya, gara-gara baper kita membalas dengan cuitan atau status yang mengundang nyinyir juga. Alhasil, jadilah perang komentar maupun status di media sosial.
Pernahkah berpikir apa manfaat kita baper berlebihan seperti di atas? Rasanya tidak ada manfaat justru mengurangi pahala kita saat bulan puasa.
3. Puasa Menyebar Berita yang Belum Pasti Kebenarannya
Era digital memang banyak bermunculan merek smartphone pintar. Sayangnya, kepintaran smartphone berbanding terbalik dengan penggunanya. Netizen zaman now memang kritis tapi kadang ada juga yang kurang realistis. Tak banyak dari mereka suka menyebar berita dengan membagikan tulisan yang belum teruji kebenarannya.
Nah, di bulan yang penuh ampunan ini, baiknya kita bisa menahan diri ketika Ramadan dengan lebih bijak menanggapi sebuah berita. Bila perlu ketika berita tersebut hendak dibagikan, kita mencari tahu detil kebenarannya.
Inilah esensi dari puasa media sosial itu sendiri. Sebab, dengan kita membagikan tulisan positif, amal jariyah yang kita dapat. Sementara membagikan berita yang belum tentu benar alias hoax melainkan dosa jariyah kelak karena akan dimintai pertanggungjawaban.
4. Tak Perlu Semua Orang Tahu Siapa Dirimu
Puasa yang diambil dari kata 'Shaum' dari Bahasa Arab bermakna menahan diri, mencegah diri, atau menjauhkan diri dari sesuatu.
Nah, bulan suci penuh hikmah kali ini, tidaklah pantas jika media sosial hanya diisi dengan postingan curhatan yang lebih terkesan ke arah pamer ataupun riya. Contoh : dikit-dikit posting soal berapa surat dalam Al-Quran yang sudah dibaca, pamer sedekah, atau bahkan membagikan berita yang sejatinya tidak penting untuk dikonsumsi publik.
Sebaiknya, belajarlah menahan diri ketika Ramadan dengan tidak perlu menunjukkan pada semua orang siapa kita, juga bisa dijadikan ajang berpuasa media sosial agar tidak mengundang prasangka bagi banyak orang. Tahan baik-baik jarinya, ya!
Nah, empat hal di atas adalah poin penting yang harus digaris bawahi saat bulan Ramadan ini. kita tidak hanya menahan diri ketika Ramadan dari rasa haus dan lapar saja. Menahan lisan dari ucapan yang tidak patut, menahan pikiran dari prasangka buruk, tidak pula menahan jari dari fenomena media sosial yang menggelitik emosi jiwa, tetapi juga menahan hati agar lebih legowo dan bijak dalam menyikapi sesuatu.
Jadikan Ramadan ini sebagai ajang perubahan ke arah yang lebih baik, menjadi manusia yang lebih produktif, dan menjadi orang yang senantiasa berpikir positif. Dengan melakukan sesuatu yang perlu dan meninggalkan sesuatu yang tidak penting.
Semoga kita dimampukan mendapatkan berkah Ramadan ya, teman-teman.
Mantap banget nih...
BalasHapusMwncoba puasa medsos dengan ikut tantangan...apa pun tantangannya...kugiring tema religi...
Emang me time buat emak-emak cukuo dengan melototin hp aja dan jangan ada gangguan. Setuju banget untuk menahan diri agar tidak terpancing untuk komentarin status orang atau ikut ngegosipin orang. Saya sih betusaha aja supaya nggak pernah posting yang galau-galau, apalagi ikut komentatin status orang.
BalasHapusYes, menahan diri memang diperlukan ketika seseorang berakrab diri dengan media sosial. Terlalu baperan bisa bikin hidup kita jadi gak asyik, padahal belum tentu juga status menohok seseorang itu ditujukan untuk kita.
BalasHapusSetuju banget, salah satu tantangan baru saat kita bisa menahan diri ber media sosial ya mbak, apalagi menahan godaan baper pada status orang:)
BalasHapus