Apa jadinya jika orang yang kita cintai telah mendua? Bukankah itu hal yang sangat menyakitkan? Akankah aku bisa bertahan? Ataukah aku harus melepaskan?
“Anna, Ibu memintaku menikah lagi. Bagaimana menurutmu?”
“Menikah? Kenapa, Mas?” tanyaku pada Mas Andi dengan bibir bergetar.
“Masih sama seperti dulu, An. Ibu menginginkan cucu dari kita." Aku terdiam sejenak sambil mencerna kata-kata dari Mas Andi barusan. Batinku, sepertinya akan ada badai besar setelah obrolanku bersama Mas Andi malam ini. Beberapa menit kemudian, kumencoba mengutarakan semua perasaan kecewaku pada Mas Andi.
“Kenapa Ibumu tidak mengerti perasaanku, Mas? Bukan dia saja yang mengharapkan itu, tetapi kita juga. Lalu, apakah menikah lagi adalah jalan yang terbaik? TIDAK!” tegasku pada Mas Andi malam itu. Jujur, aku sangat kecewa dengan sikap suamiku yang tidak tegas pada orang tuanya itu.
“Aku bisa apa? Sebagai anak lelaki satu-satunya, jujur aku tak bisa menolaknya. Aku tidak ingin menjadi anak yang tidak berbakti, An. Apalagi harta warisan Ayah akan diberikan padaku. Sedangkan kita belum punya anak sampai sekarang. Haruskah aku melepaskan semua warisan ayah dan tetap memilihmu?” ucap Mas Andi kesal. Matanya menatapku penuh dengan amarah. Tangannya mengepal keras yang siap menendang kursi yang ada di depannya. Hanya saja dia masih menahan emosinya semata-mata agar tidak membuat obrolan kami berujung pertengkaran.
“Astagfirullah, Mas. Itukah alasanmu menerima tawaran Ibu untuk menikah lagi? Dengan sangat menyesal aku katakan padamu, pikiranmu sungguh picik, Mas!"
“CUKUP! Kau selalu menghardikku, An. Kenyataannya memang kau mandul. Sampai kapanpun juga tak akan ada anak dalam pernikahan kita!" Kursi yang ada di depannya kali ini berhasil melayang. Rumah yang tadinya hanya terdengar suaraku dan Mas Andi, kini, menjadi riuh dengan suara pecahan perabotan rumah.
Lalu lima menit setelah itu, Aku dan Mas Andi sama-sama diam membisu. Seolah malam itu adalah malam yang paling menyakitkan buatku. Dimana suamiku sendiri sudah tidak peduli lagi akan perasaanku. Airmataku tak terbendung lagi. Tubuhku mendadak lemas. Buat berjalan saja tak ada daya yang menopang. Seakan tak percaya dengan apa yang dikatakan suamiku barusan. Padahal 6 tahun sudah hidup bersama, kenapa Mas Andi tega bicara seperti itu? Akhirnya, tanpa ragu kutinggalkan Mas Andi yang berada di ruang tamu sendirian.
***
Keesokan harinya, kulihat Mas Andi tertidur di sofa ruang tamu. Tanpa mengingat soal pertengkaran semalam, akupun bergegas membangunkannya.
“Mas, sudah siang. Ayo, bangun.”
Beberapa menit kemudian, Mas Andi terbangun. Tanpa bicara sepatah katapun, Mas Andi dengan muka masam berlalu meninggalkanku. Sepertinya Mas Andi masih marah gumamku dalam hati.
“Mas, semua perlengkapan ke kantor sudah aku siapkan, kutunggu di ruang makan secepatnya ya,” ujarku penuh harap semoga mas Andi menjawab ucapanku. Tapi sayangnya tidak. Mas Andi tetap diam membisu dan pergi begitu saja. Bahkan kecupan hangat tiap kali mau berangkat ke kantor yang biasanya dilakukan penuh dengan kasih sayang, akupun tidak merasakannya pagi ini.
“Mas, tidak makan dulu?” tanyaku lirih. Kucoba mendekati Mas Andi dan memasangkan dasi dilehernya. Namun sayang, sikap Mas Andi tetap dingin.
“Enggak, aku sudah terlambat. Ada meeting sama klien di kantor. Oh, ya… nanti malam tak perlu menungguku pulang. Tidur saja duluan. Aku mau mampir ke rumah Ibu dulu sebentar,” jelasnya.
“Baik, hati-hati di jalan ya,” ujarku sebelum Mas Andi pergi dari hadapanku. Sosok yang periang dan penuh dengan kelembutan, tiba-tiba berubah dingin pagi ini. Ingin rasanya kumenjerit sekeras-kerasnya saat itu juga, tapi apa daya diriku yang lemah inii, menangis saja sudah cukup membuatku lega.
***
Malam mencekam, awan menghitam, suara petir menggelegar. Sepertinya akan turun hujan malam ini. Kupandangi jam dinding warna merah yang menggantung di kamar. Jarum jam menunjukkan pukul 00.00, tapi ke mana Mas Andi? Jam segini masih belum pulang. Sontak pikiranku kacau di buatnya. Kutelfon dan sms Mas Andi berkali-kali, tapi handphone tidak aktif. Akhirnya, kuputuskan menelfon ke rumah mertua soalnya Mas Andi bilang mau mampir ke sana malam ini.
“Assalamualaikum, Bu, Apa Mas Andi ada di sana sekarang?”
“Tidak, An. Di rumah hanya ada Ayah dan Ibu dari siang. Memang Andi ke mana? Apa kalian bertengkar?”
“Enggak, kok, Bu. Kita baik-baik saja. Cuma tadi siang mas Andi pamit mau main ke rumah Ibu sama Ayah, dan sampai sekarang belum pulang. Aku khawatir, Bu," jelasku pada perempuan tua yang sedang berbicara di sana yang tak lain adalah ibu mertuaku.
Tak lama kemudian…
Ting…
Terdengar suara handphonku berdering. Aku bergegas mengambilnya. Siapa tahu itu dari mas Andi. Dan benar itu message dari suamiku.
(MESSAGE)
Maaf, An. Malam ini aku tidak bisa pulang, ibu sedang gak enak badan. Jadi, beliau memintaku untuk menginap.
Lemas seketika tubuhku membaca pesan darinya. Bau kebohongan mulai tercium di sini. Aku menangis sejadi-jadinya. Kekhawatiran yang tak pernah terpikir sebelumnya, akhirnya terjadi juga malam ini. Suamiku benar-benar berubah. Benarkah akan ada wanita lain yang menggantikan posisiku? Pikirku dalam hati. Ah, Tidak mungkin. Mas Andi tipe lelaki setia, mana mungkin perbuatan yang hina itu dia lakukan. Aku berusaha menepis pikiran konyol itu. Dan segera mengambil air wudhu bersujud padaNya.
Beberapa menit kemudian, handphoneku kembali berdering. Dengan semangat aku mengambilnya. Berharap Mas Andi yang menghubungiku. Tapi ternyata bukan, ini telfon dari Reeya.
(Percakapan di telfon)
“Hai, An… apa kabarmu?”
“Baik, Re. Tumbenan kamu telfon? Ada apa nih?”
“Alhamdulilah kalau baik. Sama Mas Andi gimana? Baik juga kan?”
“Baik, kok, Re. Kenapa emangnya? Aneh banget tiba-tiba kamu nanyain Mas Andi.”
“Gini, An. Tadi aku melihat Mas Andi di restoran bersama cewek. Mereka kelihatan sangat mesra. Apa kalian ada masalah? Maaf ya, An… aku gak bermaksud ikut campur.“
Tut..tut...tut… telfon terputus. Seketika itu aku merasa Mas Andi sudah menghianatiku. Kepercayaanku tidak ada lagi untuknya. Dan sepertinya berpisah adalah jalan terakhir.
***
Pagi nan cerah, ku lihat sosok lelaki lengkap dengan seragam kantor tertidur lelap di sofa ruang tamu. Ingin sekali ku membangunkannya, tetapi mengingat hal semalam yang diceritakan oleh Reeya, sungguh membuatku sangat jijik untuk menyentuhnya. Tanpa meminta penjelasan kenapa Mas Andi tidak pulang semalam, akupun sudah tahu dan ingin cepat-cepat pergi darinya. Cukup selembar kertas putih ini saja yang akan menjelaskan tentang perasaanku padanya.
---------------
Untuk imamku…
Mas, maafkan aku. Mungkin aku sudah egois menolakmu menikah lagi. Tapi ketahuilah, aku hanyalah wanita biasa yang juga bisa merasakan cemburu. Aku juga bisa sakit hati jika melihatmu dengan wanita lain. Mana bisa aku berbagi hati dan segalanya dengan maduku. Sungguh sangat berat, Mas. Jika kesetiaanku padamu selama enam tahun ini tak berarti apa-apa, dan menikah lagi bisa membuatmu bahagia, kuikhlaskan Mas Andi menikah lagi. Hanya saja satu permintaanku yang wajib kamu kabulkan. Tolong, ceraikan aku! Aku takut jika nantinya kita bertiga hidup bersama, Mas Andi belum bisa adil padaku dan maduku. Dan hal itu malah akan menambah dosa bagi keluarga kita. Makanya, aku lebih memilih pergi meninggalkanmu daripada harus melihatmu terjerumus dosa, Mas.
Istrimu, Anna
------------------
Aku segera pergi meninggalkan rumah itu, dan berpamitan ke rumah mertuaku. Kuserahkan kembali anak lelaki mereka satu-satunya. Dan hanya maaf yang bisa kuucapkan karena aku belum bisa memberikan seorang cucu seperti yang mereka harapkan.
****
Tiga tahun berlalu. Aku dan Mas Andi pun tak ada komunikasi sejak perpisahan kami. Kabarnya, dia sudah menikah lagi. Sedangkan aku? Aku tetap sendiri. Hubunganku sama Mas Andi meninggalkan trauma yang mendalam. Aku lebih memilih menutup diri dan hati dari lawan jenisku walaupun tidak dipungkiri lumayan banyak lelaki yang mendekatiku. Aku hanya takut kegagalan itu terulang kembali. Apalagi menyangkut soal anak, sangat menyedihkan!
Namun, seseorang berpesan padaku. Bahwasannya seburuk apapun masa lalu, dia akan tetap menjadi kenangan. Tak mungkin kita bisa menghapusnya begitu saja. Sedangkan sekarang kita hidup di masa depan, tugas kita bukan mengabaikannya melainkan memperbaikinya.
Sejak saat itu, Akupun tersadar. Pesan dari seseorang itu memanglah benar. Sebisa mungkin aku harus bisa memaaafkan diriku, aku harus bisa memaafkan masa lalu yang kelam itu dan merancang masa depan yang indah dengan seseorang yang benar-benar mau menerima apa adanya diriku. Dengan begitu aku akan lebih bebas menjalani hidup serta bahagia tanpa beban sedikitpun.
#30DaysWritingChallenge
#InfinityLovInk
Be First to Post Comment !
Posting Komentar